Rabu, 12 Desember 2012

Tentang Melati


Bunga melati mengajarkan bahwasanya
kita janganlah bersikap sombong dan angkuh.
Kita tidak usah mengatakan bagaimana wanginya diri kita.
Karena orang akan mengetahui itu dengan sendirinya.

Melati tak pernah berdusta dengan apa yang ditampilkannya.
Ia tak memiliki warna dibalik warna putihnya.
Ia juga tak pernah menyimpan warna lain untuk berbagai keadaannya,
apapun kondisinya, panas, hujan, terik ataupun badai yang datang ia tetap putih.
Kemanapun dan dimanapun ditemukan, melati selalu putih.
Putih, bersih, indah berseri di taman yang asri.

Pada debu ia tak marah, meski jutaan butir menghinggapinya.
Pada angin ia menyapa,
berharap sepoinya membawa serta debu-debu itu
agar ianya tetap putih berseri.
Karenanya, melati ikut bergoyang saat hembusan angin menerpa.
Kekanan ia ikut, ke kiri iapun ikut.
Namun ia tetap teguh pada pendiriannya,
karena kemanapun ia mengikuti arah angin,
ia akan segera kembali pada tangkainya.

Pada hujan ia menangis,
agar tak terlihat matanya meneteskan air
diantara ribuan air yang menghujani tubuhnya.
Agar siapapun tak pernah melihatnya bersedih,
karena saat hujan berhenti menyirami,
bersamaan itu pula
air dari sudut matanya yang bening itu tak lagi menetes.
Sesungguhnya, ia senantiasa berharap hujan kan selalu datang,
karena hanya hujan yang mau
memahami setiap tetes air matanya.
Bersama hujan ia bisa menangis sekeras-kerasnya,
untuk mengadu,
saling menumpahkan air mata
dan merasakan setiap kegetiran.
Karena juga, hanya hujan yang selama ini
berempati terhadap semua rasa dan asanya.
Tetapi, pada hujan juga ia mendapati keteduhan,
dengan airnya yang sejuk.

Pada tangkai ia bersandar,
agar tetap meneguhkan kedudukannya,
memeluk erat setiap sayapnya,
memberikan kekuatan dalam menjalani kewajibannya,
menserikan alam.
Agar kelak, apapun cobaan yang datang,
ia dengan sabar dan suka cita merasai,
bahkan menikmatinya sebagai bagian
dari cinta dan kasih Sang Pencipta.
Bukankah tak ada cinta tanpa pengorbanan?
Adakah kasih sayang tanpa cobaan?

Pada dedaunan ia berkaca,
semoga tak merubah warna hijaunya.
Karena dengan hijau daun itu,
ia tetap sadar sebagai melati harus tetap berwarna putih.
Jika daun itu tak lagi hijau, atau luruh oleh waktu,
kepada siapa ia harus meminta koreksi
atas cela dan noda yang seringkali membuatnya tak lagi putih?

Pada bunga lain ia bersahabat.
Bersama bahu membahu menserikan alam,
tak ada persaingan,
tak ada perlombaan menjadi yang tercantik,
karena masing-masing memahami tugas dan peranannya.
Tak pernah melati iri
menjadi mawar, dahlia, anggrek atau lili,
begitu juga sebaliknya.
Tak terpikir melati berkeinginan menjadi merah, atau kuning,
karena ia tahu semua fungsinya sebagai putih.

Pada matahari ia memohon,
tetap berkunjung di setiap pagi
mencurahkan sinarnya yang menghangatkan.
Agar hangatnya membaluri setiap sel tubuh
yang telah beku oleh pekatnya malam.
Sinarnya yang menceriakan,
bias hangatnya yang memecah kebekuan,
seolah membuat melati merekah dan segar di setiap pagi.
Terpaan sinar mentari,
memantulkan cahaya kehidupan yang penuh gairah,
pertanda melati siap mengarungi hidup,
setidaknya untuk satu hari ini
hingga menunggu mentari esok kembali bertandang.

Pada alam ia berbagi,
menebar aroma semerbak mewangi
nan menyejukkan setiap jiwa yang bersamanya.
Indah menghiasharumi semua taman yang disinggahinya,
melati tak pernah terlupakan untuk disertakan.
Atas nama cinta dan keridhoan Pemiliknya,
ia senantiasa berharap tumbuhnya tunas-tunas melati baru,
agar kelak meneruskan perannya sebagai bunga yang putih.
Yang tetap berseri disemua suasana alam.

Pada unggas ia berteriak,
terombang-ambing menghindari paruhnya
agar tak segera pupus.
Mencari selamat dari cakar-cakar
yang merusak keindahannya,
yang mungkin merobek layarnya
dan juga menggores luka di putihnya.

Dan pada akhirnya,
pada Sang Pemilik Alam ia meminta,
agar dibimbing dan dilindungi
selama ia diberikan kesempatan
untuk melakoni setiap perannya.
Agar dalam berperan menjadi putih,
tetap diteguhkan pada warna aslinya,
tidak membiarkan apapun merubah warnanya
hingga masanya mempertanggungjawabkan
semua waktu, peran, tugas dan tanggungjawabnya

Jika pada masanya ia harus jatuh,
luruh ke tanah,
ia tetap sebagai melati,
seputih melati.
Dan orang memandangnya juga seperti melati.

(taken from : http://maulanusantara.wordpress.com/2010/01/31/filosofi-sederhana/)

Sumber gambar :  http://www.zelenaplus.com

by. nana daesri

Ps. I hope . . .


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar